1. Syariah Islam : Definisi dan Urgensinya
Syariah Islam (al-hukm al-syar’iy) adalah segala
ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab
al-syaari’ al-muta’alliqu bi af-al al-‘ibad). Maka segala aktivitas
manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam
yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu’amalat,
dan ‘uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).
Secara garis besar, menurut al-Mahmud (1995) dalam Al-Da’wah
ila al-Islam pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :
(1) individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;
(2) kelompok (jama’ah), misalnya amar ma’ruf nahi
mungkar (lihat QS 3 : 104); (3);
(3) negara, misalnya sistem pidana (nizham
‘uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham
al-iqtishad).
Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan
kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan
itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan
keberadaan negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin
hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat
terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan
hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap
melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah
(Imamah).
Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya
dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya (lihat misalnya QS 4:59).
Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari
keimanannya terhadap islam (QS 4:65). Sebaliknya seorang muslim haram
hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam (QS 4:45, QS 4:47), dan bahkan
jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah
lebih baik, ia menjadi kafir (murtad) (QS 4:44).
Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi
terhadap problem-problem manusia (mu’aalajaat li masyaakil al-insaan).
Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon,
Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan
dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja diselesaikan dengan
Syariah Islam.
2. Demokrasi dan Syariah
2.1. Fakta Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang
bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang
sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi.
Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi
lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut
sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja
yang merupakan kolaborasi gereja dan para raja Eropa ini menghendaki tunduknya
seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) kepada
aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang
oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik)
dalam kehidupan.
Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme,
menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca
Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu,
yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama
dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun
secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur
dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau
agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.
Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :
(1) hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan
rakyat (as-siyadah li al-sya’b). Prinsip ini kebalikan dari kondisi
sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan;
(2) hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat
(as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya
yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi
dalam sistem monarki absolut.
Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan
sumber kekuasaan (source of legislation and authority) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah
Nizham Kufr, 1990).
Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya
dengan leluasa sebagai pembuat hukum dan sumber kekuasaan tersebut, demokrasi
memberikan kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang mencakup 4 jenis
kebebasan : (1) kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah), (2) kebebasan
berpendapat (hurriyah al-ra`yi), (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah
al-tamalluk), dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhshiyyah)
(Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990).
2.2. Demokrasi Menurut Islam
Hizbut Tahrir menegaskan sikapnya tentang demokrasi dalam
sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "Demokrasi
adalah sistem kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya."
(Zallum, 1990).
Mengapa demokrasi kufur? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah
li Hizb al-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena
konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya
bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat).
Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut
sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah
SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya) :
"Menetapkan hukum hanyalah hak Allah."
(QS Al-An’aam : 57)
Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh
bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut
sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia
untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) :
"Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir."
(QS Al-Maa`idah : 44)
Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya
kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :
a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari
manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT
melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.
b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang
mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).
c. Dari segi standar pengambilan pendapat :
demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai
tergantung materi yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut
status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan
suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu
aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut
aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling
tepat, bukan suara mayoritas.
d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4
jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak
adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (‘adam
al-taqayyud bi syai`in ‘inda al-qiyaam bi al-‘amal) (Zallum, Kaifa
Hudimat al-Khilafah, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam
pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah
Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum
Syariah Islam (al-ashlu fi al-af’aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i).
Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan
Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Dimuqrathiyyah
Nizham Kufr (1990) menegaskan tanpa ragu-ragu :
"Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke
negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya
degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi
sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun
secara rinci…Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk
mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi."
3. Relevansi Khilafah
Syariah dan Khilafah mempunyai hubungan yang sangat erat
yang tidak mungkin dipisahkan. Sebab tidak mungkin kita menerapkan Syariah
Islam secara sempurna, kecuali dengan Khilafah. Maka dari itu, keberadaan
Khilafah adalah wajib secara syar’i demi melaksanakan kewajiban menerapkan
Syariah Islam.
Dalam hal ini kaidah fikih menegaskan : Maa laa
yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (Jika suatu kewajiban tidak dapat
terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka adanya sesuatu itu wajib pula
hukumnya).
Secara empiris, kita dapat pula menyaksikan betapa
besarnya kebutuhan umat Islam akan Khilafah saat ini. Sebab dunia saat ini
berada dalam hegemoni negara-negara Kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Hegemoni AS di bidang militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya itu
tentu tidak boleh dibiarkan.
Tapi, tidak mungkin Dunia Islam membebaskan dirinya dari
hegemoni kapitalis, kecuali dengan persatuan umat Islam (wihdatul Ummah).
Dunia Islam sudah terbukti tidak mampu menghadapai hegemoni AS, karena telah
terpecah-belah menjadi 56 negeri Islam. Dan persatuan umat Islam ini jelas
tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan Khilafah. Sebab Khilafah bukanlah
negara untuk satu bangsa atau golongan tertentu, melainkan negara untuk seluruh
umat Islam di seluruh dunia. Di seluruh dunia tidak boleh ada, kecuali hanya
satu Khilafah saja.
Di sinilah relevansi Khilafah pada era kontemporer saat
ini. Secara syar’i Khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. Sedang secara
empiris, Khilafah sangat dibutuhkan umat Islam untuk membebaskan dirinya dari
hegemoni dan imperialisme negara-negara Kapitalis pimpinan AS.
4. Mungkinkah Khilafah?
Sebagai penutup, perlu dijelaskan juga jawaban untuk umat
Islam yang sering bertanya,"Apakah Khilafah suatu utopia? Mungkinkah
mendirikan Khilafah di tengah situasi politik saat ini untuk umat Islam yang
jumlahnya 1,2 miliar jiwa?"
Jawabnya, Khilafah bukan utopia sebab jika utopia tentu
Allah SWT tidak akan mewajibkannya kepada umat Islam. Sama saja dengan shalat.
Ketika Allah mewajibkan shalat, berarti menegakkan shalat itu masih berada
dalam batas-batas kesanggupan manusia. Demikian juga ketika Allah mewajibkan
Khilafah, berarti menegakkan Khilafah itu juga masih berada dalam batas-batas
kesanggupan manusia."Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa."
Hanya saja, tentu mewujudkan Khilafah yang dapat memayungi
seluruh umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa tidak mungkin terjadi dalam
sekejap. Khilafah untuk pertama kalinya nanti, dapat berdiri di sebuah negeri
Islam dahulu. Kemudian secara bertahap, Khilafah melakukan ekspansi dan
perluasan ke negeri-negeri lainnya sehingga akhirnya mencakup wilayah yang
luas.
Hal itu sebagaimana Rasulullah SAW dahulu, yang mendirikan
Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya hanya sebatas kota Madinah. Namun tapal
batas wilayah ini terus meluas sejalan dengan misi jihad fi sabilillah. Pada
saat Rasulullah wafat (11 H/632 M), wilayah Daulah Islamiyah telah mencakup
seluruh Jazirah Arab.
Semoga Khilafah segera berdiri sebentar lagi dengan seizin
Allah, walaupun orang-orang kafir pasti membencinya. Firman Allah SWT (artinya)
:
"Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunju dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala
agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS Ash-Shaff : 9).
Wallahu muwaffiq li al-shawaab.
__________________________________________________________________________________________