MAKALAH
STUDY HADITS
“HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM”
KELOMPOK II
NAMA :
BENI SETIAWAN
FAK : SYARIAH
PRODI : Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH)
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan
manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi
maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan
bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan
bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya
persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam
perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu
tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas
dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah
SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan
bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah SWT mengutus para
Nabi dan Rosul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rosululloh lahir ke
dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’
adalah khitab Syari’(seruan Alloh sebagai pembuat
hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadis,
maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits
yang bukan tergolong mutawatir.
Hadits
merupakan sumber syari’at islam yang kedua setelah Al Qur’an. Hadis memiliki
fungsi yang sangat penting terhadap Al qur’an. Dalam fungsi tersebut hadis
menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada penjelasan yang dapat dimengerti
di dalamnya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang fungsi hadis terhadap Al Qur’an dan dalil - dalil kehujahan hadis.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang fungsi hadis terhadap Al Qur’an dan dalil - dalil kehujahan hadis.
B. RUMUSAN
MASALAH
a. Apa saja dalil- dalil kehujahan hadis ?
b. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al-Qur’an ?
C. TUJUAN
a. Untuk memenuhi tuntutan tugas mata kuliah study
Hadis
b. mengetahui apa saja dalil dalil hadis yang
berkaitan dengan kehujahan hadis
c. mengetahui fungsi hadis
terhadap Al Qur’an
d. Menambah wawasan
pengetahuan tentang ilmu Hadis
PEMBAHASAN
I. DALIL-DALIL
KEHUJAHAN HADITS
Sunnah atau Hadis Nabi Saw merupakan salah satu sumber
ajaran agama Islam sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti Al-Qur’an,
hanya saja perbedaan antara keduanya terletak pada sisi lafaz dan makna. dimana lafaz dan makna al-Qur’an
berasal dari Allah Swt semetara Hadis maknanya dari Allah Swt dan lafaznya dari
Rasulullah Saw, kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan
mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.[1]
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan sunnah antara lain:
1. Al-Qura’n al-Karim
Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan
Sunnah diantaranya adalah ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat
kepada Rasulullah saw. firman Allah Swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An-Nisa : 59)
Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an, dan
kembali kepada Rasul maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau Saw.
Perintah untuk mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah Saw dan menjauhi segala apa yang dilaranagnnya, Allah Swt berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7)
Allah Swt telah memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi
segala apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw, Allah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS An-Nu>r :
63)
Pada Banyak ayat, Allah Swt menyandingkan kata Kitab yang
berarti al-Qur’an dengan kata Hikmah yang berarti hadis atau sunnah
diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah Swt:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya : “Dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan
Hikmah kepadamu (Muhammad), dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu
ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (QS. An-Nisa> :
113)\
Imam al-Syafi’I berkomentar perihal ayat yang
terakhir ini dengan mengatakan:
“Allah swt menyebutkan al-Kitab yaitu al-Qur’an dan juga
Sunnah (Hadis). Aku teelah mendengar ahli ilmu al-Qur’an mengatakan; Hikmah
adalah Sunnah Rasulullah saw. Karena al-Qur’an disebutkan dan dibarengi
dengan kata Hikmah. Allah swt. Menyebutkan anudrah-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya
dengan mengajari mereka al-Kitab dan Hikmah, maka tidak boleh –Wallahu a’lam-
ditafsiri maksud Hikmah disini kecuali Sunnah Rasulullah saw”.[2]
2. Hadis Nabi Saw
Terdapat banyak hadis-hadis Rasulullah saw. yang
menunjukkan kewajiban untuk mengikuti Sunnah Nabawiyah dan menegaskan
bahwa Sunnah itu memliki kedudukan yang sama seperti al-Qur’an dari segi
keadaannya sebagai sumber untuk menetapkan hukum-hukum. Diantara hadis-hadis
tersebut:
- Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanadnya dari sahabat Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ
مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Artinya : “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali mereka yang
enggan dan tidak mau”. Para Sahabat kemudian bertanya (keheranan); ‘Siapakah
yang tidak mau memasukinya itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: “orang yang
mentaatiku akan masuk surga dan orang yang mendurhakaiku (melangkar ketentuanku)
berarti dia enggan dan tidak mau”.
- Hadis yang menjelaskan bahwa dengan berpegangteguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak akan tersesat untuk selamnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya : “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara,
kalian tidak akan sesat untuk (selamanya) selama kalian berpegangteguh kepada
keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”
- Hadis yang memerintahkan untuk senantiasa ber-tamassuk (berpegangteguh) Sunnah Rasulullah saw dan para sahabat beliau saw dan larangan melakukan kebid’ahan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Artinya : “Hendaklah kalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para
khalifah ra>syidah yang telah mendapatkan hidayah, berpegangteguhlah
kepadanya, dan gigitlah (Sunnah tersebut) dengan gigi grahammu, dan jauhilah
oleh kalian perkara-perkara yang baru, krena segala bentuk yang bersifat baru
adalah bid’ah dan semua bentuk bid’ah adalah sesat”.
- Hadis yang menjelaskan bahwa telah diturunkan kepada Rasulullah saw al-Quran dan yang semidal dengannya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari sahabat al-Miqdam bin Ma’di Karib ra, Rasulullah saw bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ مَعَه
Artinya : “Sesungguhnya telah diberikan (diturunkan) kepadaku
al-Kitab (al-Qura’n) dan bersamanya sesuatu yang semisal dengannya
(al-Sunnah)”.
3. Ijma’
(Kesepakatan)
Para Sahabat seluruhnya telah menyepakati kewajiban
mengikuti Sunnah Nabi saw, karena sunnah tersebut merupakan wahyu dari Allah
swt dan telah memerintahkan kepada kita untuk mengikutinya demikian pula dengan
Rasul-Nya sebagiaman dalam riwayat-riwayat yang telah disebutkan terdahulu.
Fakta-fakta yang menunjukkan kesepakatan mereka akan kehujjahan sunnah
dalam agama cukup banyak dan tidak terbilang jummlahnya dan tidak diketahui ada
seorang pun diantara mereka yang menyalahi dan menentang hal tersebut.
Kemudian para Tabi’in menempuh jalan para Sahabat
dengan mengambil dan mengikuti apa yang terdapat (warid ) dalam Sunnaah
berupa hukum, adab, dan tidak seorang dari mereka (Taabi’in) berani
memenentang Sunnah yang shahih.
Kemudian keum muslimin sesudah mereka hingga hari ini telah
menyepakati akan kewjiban menerima dan mengambil hukum-hukum yang di-nuqil dari
Sunnah dan barang siapa yang menentang hal tersebut dianatara mereka, makka
mereka telah menentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta mengikuti jalan
selain jalan orang mu’min.
Oleh karena itu, kaum muslimin sangat setia menuqilnya,
memeliharanya, dan berpegang teguh dengannya karena taat kepada Allah swt dan
mengikuti Rasulullah saw.
4. Logika
Jika telah terbukti dengan dalil yang terang dan jelas bahwa
Muhammad saw adalah Rasul Allah, maka beriman kepada Risalah-nya menuntut
konsekwensi ketaatan kepadanya, jika tidak, maka keimanan kepadanya tidak
memiliki arti sama sekali, sebab beliaulah yang menyampaikan ajaran-ajaran
agama dari Tuhannya, dan kita meyakini bahwa belaiu Sadiq (benar) dengan
seluruh yang beliau sampaikan kepada kita, dan bahwa beliau Ma’sum (terjaga)
dari segala bentuk kekeliruan. dan di dalam al-Qur’an Allah swt telah menyandingkan
keimanan kepada rasul-Nya dengan keimanan kepada-Nya. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ
يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
Artinya : “Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada
bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka
tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.”
(QS. An-Nur: 62)
Sekiranya Sunnah tidak menjadi Hujjah bagi kaum
muslimin, niscaya kita tidak sanggup melaksanakan hukum-hukum al-Qur’an, karena
hanya dengan sunnah-lah al-Qur’an dapat di jelaskan dan dipahami.
Jadi setiap orang yang memiliki akal sehat
tentu akan berpendapat bahwa mengikuti Sunnah Nabi saw adalah suatu kewajiban,
karena jika tidak, maka bimbingan, petunjuk dan arahan beliau tidak memiliki arti dan
keberadaan beliau saw ditengah-tengah umatnya untuk mengajarkan kepada mereka
perkara-perkara agama menjadi sia-sia, tentu saja hal ini tidak akan diterima
oleh orang yang kritis dan perpikir.
II. FUNGSI HADIS TERHADAP
AL-QUR’AN
Sebagai sumber ajaran kedua setelah
Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi
al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]: 44.
Artinya “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi
umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Penjelasan yang dimaksud di atas kemudian oleh para ulama di
perinci ke pelbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar terdapat empat bentuk
fungsi penjelasan hadis terhadap al-Qur’an sebagai berikut;
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga
dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan
bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam
al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan
al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang
berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا
رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (ru’yah)
bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.”
(HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir
ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir
atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas
al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai)
dengan nas al-Qur’an.[3]
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir
adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada
ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka
fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan
penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis
terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.
Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه
البخارى)
“Sholatlah sebagaimana engkau
melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana
mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah
satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)
b.
Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang
menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang
kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya
membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat
tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)
c.
Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang
menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis
atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau
tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi
keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat
apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan
Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang
menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah
sebalikanya.[4] Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak menerima
harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman
firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3. Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan
al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini
oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala al-kitab al-kariim”
(tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam
kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua
wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam
pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang
anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ
عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasul SAW telah
mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa
hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an
melainkan semata-mata karena perintah-Nya. [5]
4. Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini,
terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima
fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada
yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa
berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil
(memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan
al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka
terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin,
bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah
suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa
keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat
sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya
(temporal).[6]
Diantara para ulama yang membolehkan
adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam
macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal
ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an
dengan segala hadith, meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini
diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta
sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan
syarat bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya
dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh
dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir.
Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
PENUTUP
I. KESIMPULAN
a.
Adapun Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Hadis telah dibuktikan oleh hal hal
berikut antara lain ;
-
Al Qur’an karim
-
Hadis Nabi
-
Ijma’ (Kesepakatan)
-
Dan oleh Logika
b.
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil
untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]: 44.
Artinya “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi
umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul
SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Berikut
beberapa hal yang yang merupakan fungsi hadis terhadap Al Qur’an
-
Bayan At-taqrir
-
Bayan At-tafsir
-
Bayan At-tasyri
-
Bayan Al-nasakh
DAFTAR
PUSTAKA
Mohmmmad Nor Ichwan, Studi
Ilmu Hadis (Semarang: Rasail Media Group, 2007), 30
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadits (Cet. III; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h. 30
Faisal Saleh dan Khairul Amru
Harahap, Mutiara Ilmu Atsar (Cet. I; Jakarta: Akbar Media, 1429 H / 2008
M), h. 109
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu
Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 26-29
Munzier Suparta, Ilmu Hadis
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), 63-65